PENDAHULUAN
Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah.
Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat melihat ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor. Dengan peningkatan efisiensi pola kerja pemerintahan dalam pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, pengusaha dapat mengantisipasi bahwa pajak dan retribusi tidak naik, sehingga tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah pada tahun depan.
Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan adalah (1) mengenali ekonomi wilayah dan (2) merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.
Sejarah, Masalah dan Pendapat dari Beberapa Pakar
Mulai tahun 2001 pembangunan ekonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru. Secara formal ini ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 pada tahun 2001. Pada intinya UU No. 22 tahun 1999 memuat tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah sementara UU No. 25 tahun 1999 memuat tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Era reformasi yang bergulir semenjak tahun 1998 membawa perubahan besar pada aspirasi daerah, kalau tadinya pemerintah pusat memainkan peran vital dalam pembangunan daerah, sistem yang sering disebut sebagai sentralistik, maka sedikit banyak reformasi telah memberikan pengaruh pada daerah berupa tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah secara lebih luas dan nyata. Pihak yang paling mengetahui karakteristik daerah adalah orang daerah, karena itu perencanaan pembangunan tidak cocok lagi kalau ditentukan oleh pusat. Daerah harus diberi wewenang seluas mungkin dalam pembangunannya sehingga pembangunan dapat berjalan lebih harmonis. Argumentasi ini masuk akal mengingat karakteristik daerah di Indonesia sangat bervariasi. Bervariasinya karakterisik daerah ini menuntut pola pembangunan yang bervariasi pula dan bukan satu pola yang berlaku secara seragam untuk semua daerah.
Tuntutan yang semakin kuat ini telah memaksa pemerintah pusat menyerahkan sebagian besar wewenangnya kepada daerah. Adanya penyerahan wewenang ini diharapkan akan memberikan "ruang gerak" lebih luas kepada daerah untuk melakukan berbagai langkah konkrit dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Dalam konteks inilah kedua Undang-undang tersebut dilaksanakan semenjak tahun 2001. Harapan besar atas pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut adalah, pembangunan ekonomi daerah akan berjalan lebih cepat dan terarah serta didasarkan pada kemampuan daerah. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat akan dengan cepat meningkat sementara demokratisasi akan berkembang secara mantap sehingga masyarakat Indonesia akan menuju pada masyarakat yang adil dan makmur. (Adi W: 2003 :1-2)
Menurut Barzelay dalam Kusaini (2006:62) Pemberian Otonomi daerah melalui Desentralisasi fiskal dam kewenangan daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :
1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Berdasarkan pendapat diatas penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu misi utama dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sejalan dengan pemikiran mengenai otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut diatas Litvack et.al dalam kusaini (2006: 164) mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum atau paling rendah tingkat birokrasi (hirarkinya). Efisiensi tersebut berangkat dari pemikiran dimana dengan desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah lebih mampu memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya sehingga akan membuat pemerintah daerah lebih tepat dalam mengalokasikan sumber daya yang ada (allocative efficiency).
Pengertian pembangunan ekonomi daerah menurut Arsyad (1999: 108) adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
III. KESIMPULAN
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu kebijakan yang sangat diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan karena bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat , meningkatkan hubungan ekonomi dan mengusahakan agar pendapatan masyarakat dapat meningkat secara baik dan dengan tingkat pemerataan yang semakin baik.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan indistri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembanguanan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi daya-sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Tambunan T.H Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia: Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar