JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN
OPTIMALISASI ZIS DAN PENGHAPUSAN PAJAK:
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN EKONOMI
MASYARAKAT MISKIN DI ERA OTONOMI DAERAH
ABSTRACT
Poorness represent the important problems faced by the Indonesian nation, various effort have been conducted by government, but pursued with the fundamental constraint development failure, till factors of moral hazard make the poverty problems always become the new problems. Zakah, infaq, and shadaqah (ZIS) representing the part of fiscal instrument of Islam, needed in overcome poverty, that is passing gift program special economic incentive (zakat), and extra incentive from infaq and shadaqah as capital of the poor deceiveness through the development in pattern of partner and financing. On the other side, tax as conventional fiscal instrument, up to now still becomes the backbone of APBN in order to prosperity distribution. The aim of this paper is provide the fiscal analysis through the optimize of ZIS and tax abolition in context to rising the economic independence of poor society. Resolving through the optimize of ZIS and tax abolition expected applicable utilize the rising of economic independence of poor society in autonomy era.
Keywords: zakah, poorness, autonomy era, tax, empowerment, welfare.
PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.
Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.
Kesimpulan :
1. Hukum pajak adalah haram. Penghapusan pajak, dapat mendorong terciptanya sumber penerimaan baru, dengan optimalisasi sumberdaya asli yang belum terkelola secara efektif dan efisien.
2. Zakat, infak, shadaqah sebagai instrumen fiskal dalam sistem ekonomi Islam, mempunyai potensi dalam menghentikan permasalahan kemiskinan. Melalui peran kelembagaan, ketiga instrumen yakni zakat, infak, dan shadaqah dapat dikemas menjadi program pengentasan kemiskinan yang bernilai edukatif, religius, sosial dan kewirausahawan. 98 Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 8, No. 1, Juni 2007
3. Penghapusan pajak, diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan stabilitas makro ekonomi yang lebih baik, sebagai akibat membaiknya iklim investasi. Selanjutnya penulis memberikan saran
sebagai berikut:
Review Jurnal :
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.
Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.
Kesimpulan :
Jadi, BAZNAS/LAZ disarankan memiliki data mustahiq yang definisi operasionalnya sesuai dengan keterangan dalam AlQuran dan Al-Hadist, sehingga dapat memutuskan kebijakan yang akurat dan
tepat sasaran. Pemerintah disarankan fokus pada propoor policy (kebijakan yang secara
umum memihak orang miskin. Masyarakat disarankan dapat mendukung dan berpartisipasi aktif dalam program pengentasan kemiskinan BAZ/LAZ. Akademisi disarankan dapat mengkaji dan meneliti lebih komprehensif mengenai zakat, infak, shadaqah dalam penggunaannya sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Swasta (pengusaha), memberikan kesempatan kerjasama bisnis dengan masyarakat
fakir dan miskin yang diberdayakan
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN EKONOMI
MASYARAKAT MISKIN DI ERA OTONOMI DAERAH
ABSTRACT
Poorness represent the important problems faced by the Indonesian nation, various effort have been conducted by government, but pursued with the fundamental constraint development failure, till factors of moral hazard make the poverty problems always become the new problems. Zakah, infaq, and shadaqah (ZIS) representing the part of fiscal instrument of Islam, needed in overcome poverty, that is passing gift program special economic incentive (zakat), and extra incentive from infaq and shadaqah as capital of the poor deceiveness through the development in pattern of partner and financing. On the other side, tax as conventional fiscal instrument, up to now still becomes the backbone of APBN in order to prosperity distribution. The aim of this paper is provide the fiscal analysis through the optimize of ZIS and tax abolition in context to rising the economic independence of poor society. Resolving through the optimize of ZIS and tax abolition expected applicable utilize the rising of economic independence of poor society in autonomy era.
Keywords: zakah, poorness, autonomy era, tax, empowerment, welfare.
PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.
Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.
Kesimpulan :
1. Hukum pajak adalah haram. Penghapusan pajak, dapat mendorong terciptanya sumber penerimaan baru, dengan optimalisasi sumberdaya asli yang belum terkelola secara efektif dan efisien.
2. Zakat, infak, shadaqah sebagai instrumen fiskal dalam sistem ekonomi Islam, mempunyai potensi dalam menghentikan permasalahan kemiskinan. Melalui peran kelembagaan, ketiga instrumen yakni zakat, infak, dan shadaqah dapat dikemas menjadi program pengentasan kemiskinan yang bernilai edukatif, religius, sosial dan kewirausahawan. 98 Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 8, No. 1, Juni 2007
3. Penghapusan pajak, diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan stabilitas makro ekonomi yang lebih baik, sebagai akibat membaiknya iklim investasi. Selanjutnya penulis memberikan saran
sebagai berikut:
Review Jurnal :
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.
Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.
Kesimpulan :
Jadi, BAZNAS/LAZ disarankan memiliki data mustahiq yang definisi operasionalnya sesuai dengan keterangan dalam AlQuran dan Al-Hadist, sehingga dapat memutuskan kebijakan yang akurat dan
tepat sasaran. Pemerintah disarankan fokus pada propoor policy (kebijakan yang secara
umum memihak orang miskin. Masyarakat disarankan dapat mendukung dan berpartisipasi aktif dalam program pengentasan kemiskinan BAZ/LAZ. Akademisi disarankan dapat mengkaji dan meneliti lebih komprehensif mengenai zakat, infak, shadaqah dalam penggunaannya sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Swasta (pengusaha), memberikan kesempatan kerjasama bisnis dengan masyarakat
fakir dan miskin yang diberdayakan
,Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481Daftar Referensi :
http://eprints.ums.ac.id/497/1/088-Sofyan.pdf
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481Daftar Referensi :
http://eprints.ums.ac.id/497/1/088-Sofyan.pdf
0 komentar:
Posting Komentar