THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 16 Desember 2011

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI


Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN
22 Februari 2008
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya. Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions) di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.

CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential advantage. Berikut penjelasannya:
…are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of differential advantage.
Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan:
Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.

Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.

PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990; Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990) mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarekat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi. Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915,.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis masyarakat koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman koperasi yang bias.
Bahwa koperasi sekarang sudah sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari pemerintah. Artinya, mereka hanya berharap bahwa dengan ikut koperasi itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat modal. Hal itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan dengan model swalayan atau retail.
Masyarakat kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika diupayakan menjadi lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber daya alam Indonesia penuh dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif. Apalagi bila mau dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit dikembangkan.
Pemerintah dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement. Keberadaan perusahaan pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi subordinat. Perlu adanya kesetaraan. Di samping itu yang menarik adalah membentuk karakter kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital). Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama dari gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut oleh Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies. Hanya perbedaannya, kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada kepentingan individual, sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada karakter koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila dirujuk pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
Pesona statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan patokan tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini. Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir, dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123 ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat masih terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka melalui koperasi.
Tetapi kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus berlapang dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan yang sangat kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari perkembangan koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak berkembangnya ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan wadah koperasi sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan dalam zona sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang tidak sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya banyak keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence juga dapat muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi berkualitas ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang tumbuh, maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas. Intervensi pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan rekayasa kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang kualitasnya dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi intermediasi. Hal ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang bergerak di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis banyak memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus menurun.

REVIEW JURNAL:
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI
Oleh :Aji Dedi Mulawarman
1.Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi,. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hampir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme. Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?

2. Ringkasan yang kami dapat dari jurnal tersebut adalah:
- Bahwa Koperasi Indonesia pada saat ini telah dirasuki dengan sistem Neoliberalisme, bahkan sistem ini telah merasuk keseluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham Liberal ini lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere. Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan.
- Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
- Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
- Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh.
- Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
- Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.

3. KESIMPULAN
Jadi Kesimpulan yang dapat kami buat yaitu:
- Dalam pengembangan koperasi ada beberapa substansi yang sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang unik yaitu konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail.
- Menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan.
- Kita perlu merancang pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri untuk beberapa tahun ke depan.
- Kenyataan program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih berkaitan dengan anthropocentric oriented.
- Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.

4. Referensi Jurnal :
•http://ajidedim.wordpress.com/2008/01/20/mengembangkan-konsep-bisnis-koperasi-digali-dari-realitas-masyarakat-indonesia/

Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481

JURNAL KOPERASI

‘’DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI’’



Oleh :

Prof. Dr. Mubyarto


Pendahuluan



Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).

Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.

Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

Reformasi Kebablasan

Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional.

Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.

Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.



Amandemen terhadap Amandemen:

Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat

Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat) 

Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.

Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.

Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.



Ilmu Ekonomi Sosial

Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)

Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:

The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)

Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.

Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.

Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.



Penutup

Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.

Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi

The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)

Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.







Review Jurnal



Berdasarkan seminra mengenai pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai suatu bentuk badan usaha, maka ilmu yg tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Dengan begitu koperasi juga sering kali disebut sebagai masalah manajeman yaitu bagaiimana kita mengelola organisasi atau perusahaan lain yang dikenal sebagai perseroan terbatas atau BUMN.

Bapak koperasi atau yang kita kenal dengan nama Bung Hatta sangat mengkritik pedas koperasi Indonesia karena yang kelihatan berkembang adalah pengurusnya bukan anggotanya padahal koperasi itu sendiri didirikan dengan tujuan mensejahterakan anggotanya bukan hanya pengurusnya.

Lalu pada kisaran tahun 1983 sistem ekonomi semakin liberal. Pemerintah memberikan kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta untuk berperan serta yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Namun semuanya membuat suatu reformas yang kebablasan. Kondisi ekonomi pra krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu diluar kemampuan riil Indonesia. Dan reformasi yang diperlukan Indonesia seharusnya adalah reformasi sistem ekonomu, yaitu pembaruab aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin dengan cara melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan tentu saja dengan partisipasi penuh dari masyarakat ekonomi.

Dan telah terjadi kekeliruan yang sangat serius dari hasil amandemen yaitu dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.

Ada beberapa pendapat dari beberapa ahli Ilmu Ekonomi namun yang jelas manusia Indonesia tidak dapat mungkin menggunakan pendatap-pemdapat dari beberapa ahli terdebut.

Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk dareah berperan menajaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan ‘’sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’’.



Referensi Jurnal :

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_5.htm

Hill, Polly, 1975. A Plea for Indigenous Economics: The Western African Examples.

Hunt, E.K. History of Economic Thought: A critical Perspective, 1979. California, Wadsworth Publishing Company, Inc.

Keynes, John Maynard, 1935, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London. Macmillan & Co., Ltd.

Lunati, M. Teresa, 1997, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity, MacMilalan, London.

Mubyarto & Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.

Mubyarto, Hudiyanto, & Agnes Mawarni, Ilmu Koperasi, (konsep), akan terbit.

Myrdal, Gunnar, 1975. Against the Stream: Critical Essays on Economics, New York, Vintage Books.

Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnery Publishing.

Stanfield, J. Ron, 1979, Economic Thought and Social Change, London and Amsterdam, Feffer & Simons, Inc.





Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481

0 komentar: